Rabu, 07 Desember 2011

Rabu, 23 November 2011

Selasa, 15 November 2011

KUE KHAS DAYAK KANAYATN DAN RESEPNYA

Bahan-bahan: - 4 kg beras ketan - 6 butir kelapa (ambil santannya) - 4 siung bawang putih (ditumbuk) - garam secukupnya Cara Membuat: 1. Rendam beras ketan dalam air bersih selama setengah jam. 2. Angkat beras ketan dari rendaman, masukkan ke dalam ruas...
Bahan-bahan: - 2 kg tepung terigu - 1 kg tepung beras - 1 kg gula merah - 4 gelas air - 2 butir telur ayam (dikocok) - daun pandan secukupnya Cara Membuat: 1. Rebus gula merah, air, dan daun pandan, dinginkan. 2. Campur tepung terigu dan tepung beras, ke...
13 Mar 2008 11:05
Bahan-bahan: - 1 kg tepung ketan (ditumbuk dari beras ketan) - 1 butir kelapa setengah tua - � kg gula pasir - � sdt garam - mentega secukupnya Cara Membuat: 1. Daging kelapa dikukus sebentar. 2. Tepung, kelapa, gula dan garam diaduk merata tanpa air. 3.

BUJANKG NYANGKO

Disebuah rumah panjang dikampung Angus, hidup seorang gadis tua, yang bernama Dayakng Gulinatn. Ia hidup sendiri, meskipun cukup banyak saudaranya yang telah menikah dikampung ini. pada suatu malam, ia bermimpi didatangi seorang pemuda tampan yang baik hati. Pemuda itu turun dari langit, dan tersenyum kepadanya. Ia mengulurkan tangannya kepada Dayakng Gulinatn.
“ Hai,..siapa namamu ? “
“ Saya Dayakng Gulinatn, kamu siapa ? “
“ Saya Santak Mantaari, dari negeri Sapangko Kanayatn”.
bersamaan dengan pemuda itu menyebutkan namanya, hujan turun dengan derasnya yang disertai petir. Karuan saja Dayakng Gulinatn terkejut. Ia sadar, bahwa ia telah bermimpi didatangi pemuda yang baik hatinya dan tampan. “ oh…alangkah indahnya hidup ini bila pemuda itu menjadi jodohku..” kata Dayakng Gulinatn.

Keesokan harinya, Dayakng Gulinatn selalu teringat dengan pemuda itu. Tiada yang lain dipikirkannya, ia semakin rindu dengan mimpi itu. Meskipun tidak menikah, namun tiba-tiba ia hamil. “ hahhhh ……., aku hamil ? “ kata Dayakng Gulinatn heran. Ia menangis sedih, selain takut aib, ia juga takut, bahwa anak siapa sesungguhnya yang dikandungnya.. Meskipun demikian ,dengan sifat keibuannya Dayakng Gulinatn tetap saja memelihara anak dalam kandungannya itu. Setelah cukup sembilan bulan sepuluh hari, lahirlah anak itu. Seorang bayi laki-laki. Lahirnya bayi dari rahim dayakng Gulinatn disertai gelegar petir yang sangat keras, hujan deras. Hujan ini tak pernah reda, malahan semakin deras saja. Berhari-hari lamanya.

Karena hujan tak juga berhenti, para orang tua dikampung itu mengadakan musyawarah, untuk mendiskusikan langkah-langkah apa yang akan diambil.
“ pasti ada sesuatu dikampung kita ini” kata seorang tua, pemimpin rapat.
“ iya..ya, kalau gadis lain melahirkan, tidak seperti dayakng Gulinatn. Saya pun heran, kenapa hujan terus tak pernah berhenti ? “ kata seorang lainnya, setengah bertanya.
“ kalau begitu, kita Tanya saja kepada Dayakng Gulinatn, ada apa sebenarnya “ kata seseorang lagi.
“ oh…janganlah. Nanti tidak enak dengan kampung tetangga. Menurut saya, ada baiknya kita mengadakan ritual notokng. Mungkin kepala kayo yang disimpan di tingaatn rumah itu marah atas perbuatan kita “ kata pemimpin rapat.
“ baiklah, kalau begitu. Pertemuan ini, mari langsung kita bentuk saja pelaksana ritual itu. “ kata seorang peserta rapat.
“ setujuuuuu..” secara serempak peserta berteriak pertanda setuju.
Malam itu, musyawarah berhasil menyepakati membentuk kepanitiaan untuk penyelenggaraan riual notokng. Semua penduduk bekerja menyiapkan acara itu, tua muda, laki-laki perempuan. Beberapa hari kemudian, persiapan telah selesai. Tempat ritual itu diadakan dihalaman rumah. Selesai ritual, semua penduduk menari. Namun, walaupun telah mengadakan ritual notokng, hujan tetap saja tak berhenti. Aneh, Dayak Gulinant tidak terlihat dipesta itu. Ia tetap saja mengurung dirinya dikamar.
“ o..begitu ya, Dayakng Gulinatn. “
“aneh ya, dia tidak menari ? “
Semua penduduk saling bertanya satu sama lain tentang Dayakng Gulinatn. Melihat situasi itu, seorang pemimpin ritual berkata;
“ coba kamu Palapi jemput Dayakng Gulinatn. Mungkin ia ada dirumah “
“ baiklah “ kata Palapi seraya pergi menjemput Dayakng Gulinatn. Saat itu pula Dayakng Gulinatn Keluar dari dalam Kelambunya dan bergabung dengan warga tumpuk dalam acara ritual tersebut.
Dayakng Gulinantn dengan malu-malu kemudian ikut menari bersama semua penduduk kampong. Tanpa sadar, bayinya telah ditinggalkan didalam kelambu. Semua senang dengan kepandaian dayakng Gulinatn menari. Tiba-tiba hujan berhenti disertai pelangi dan matahari menyinar terang ( ujatn darakng ).

Melihat kepandaian Dayakng Gulinatn, Santak Mantaari gemetar dalam hatinya, yang ia idamkan dari Dayakng Gulinatn supaya keluar dari dalam kelambunya. Ia bermaksud membawa Dayakng Gulinatn ke negerinya yang bernama Sapangko. Ketika Dayakng Gulinatn tidak tahu bahwa ada yang mengintainya, saat itulah Santak Mantaari berhasil menyambar dan membawa Dayakng Gulinatn pergi terbang ke negeri Sapangko.

Melihat Dayakng Gulinatn di culik, orang kampung menjadi begitu marah, Palapi lansung menyambar mandau untuk membuat perhitungan dengan Santak Matari, Melihat keadaan yang tidak menguntungkan, Santak Mantaari lari terbang dan lolos dari kejaran orang kampung.

Melihat kejadian yang menimpa adiknya, kakak Dayakng Gulinatn pergi melihat keponakannya anak Dayakng Gulinatn, ia kuatir keponakannya ikut di ambil oleh Santak Mantaari. Sepeninggal Dayakng Gulinatn, anaknya di pelihara dengan penuh kasih sayang oleh bibinya yaitu kakaknya Dayakng Gulinatn. Setelah beberapa hari, anak Dayakng gulinatn di kasih nama beserta dengan di lakukannya acara sukuran, anak tersebut di beri nama Nyangko. Bibinya sangat prihatin dengan keponakannya, karena masih kecil sudah di tinggalkan ibunya. Orang kampung sangat suka dengan kehadiran Nyangko, karena selain mempunyai banyak kemampuan, juga suka menolong orang-orang kampung tersebut. Nyangko tak ingin melihat kehidupan orang kampung di lilit oleh kemiskinan dan lain sebagainya. Beberapa kali kampung mereka di serang “Kayo” Nyangkolah yang nyelamatkan serta berhasil mengusir Kayo dari kampung mereka. Rasa suka orang kampung terhadap Nyangko semakin bertambah, karena dengan kehadiran Nyangko di kampung mereka keadaan menjadi aman dan tenteram.
Selama lima belas tahun bibinya memelihara Nyangko anak Dayakng Gulinatn, melihat keponakannya sudah beranjak dewasa dan di anggap sudah pantas mengetahui siapa Dia maupun orang tuanya. Bahwa sesungguhnya Nyangko mempunyai ibu, saat ibunya melahirkan Nyangko, hujan deras, petir menggelegar, pokoknya cuaca begitu tak menentu siang hari dan malam hari. Melihat keadaan cuaca yang begitu buruk dan tidak seperti biasanya, orang kampung membuat acara adat “Notokng”. Semua penduduk di kampung tersebut ikut menari tak terkecuali Dayakng Gulinatn ibunya Nyangko, Karena begitu keasyikan menari, Dayakng Gulinatn tidak sadar bahwa dirinya di intai oleh seorang laki-laki untuk di bawa lari ke kampung halamannya. Ibumu di bawa pergi oleh Santak Mantaari ke Negri Sapangko, “tutur bibinya kepada Nyangko”

Mendengar ceritera dari bibinya demikian tragis, Nyangko bermaksud pergi ketempat di mana ibunya berada, ia ingin sekali bertemu dengan ibunya, niatnya tersebut di utarakan sama bibinya. “ bagaimanapun aku harus pergi ke tempat di mana ibuku ke negeri Sapangko apapun resikonya “kata Nyangko kepada bibinya” bibinya tidak mau melarang niat keponakannya tersebut. Bahkan bibinya bertanya kepada Nyangko “kapan kamu mau berangkat” ? pagi besok “jawab Nyangko bertekad”

Pagi-pagi bibinya sudah menyiapkan bekal untuk Nyangko berangkat menuju negeri Sapangko, karena Nyangko memiliki beberapa kepandaian yang di sebut oleh orang kampung “jago” maka sekali melompat, Nyangko sudah sampai di Negeri Sapangko.

Santak Mantaari saat itu sedang membongkar (pumputn) sarang ikan yang terbuat dari timbunan kayu-kayu ladang di tumpuk di setiap lubuk sungai, ikan yang di dapat begitu banyak, satu “tingkalakng” ikannya di bawa pulang, karena begitu senang mendapat begitu banyak ikan sehingga Santak Mantaari lupa pada orang kampung dan keadaannya. Santak Mataaari tidak tahu bahwa Nyangko sudah berada di kampung untuk menjenguk ibunya.

Dayakng Gulinatn kaget melihat ada seorang anak muda datang ke tempatnya, dan bertanya ‘siapa kamu ? “ anak muda tersebut menjawab “aku Nyangko, aku mau pergi ketemu ibuku”
Siapa ibumu ? “tanya Dayakng Gulinatn”. Namanya Dayakng Gulinatn, ibuku tersebut di bawa lari oleh Santak Mantaari, “kata Nyangko”.
O o, kalau begitu akulah ibumu, kata Dayakng Gulinatn.
Karena terharu bertemu ibunya, Nyangko menangis, demikian pula dengan ibunya, mereka berdua saling bertangisan. Dah selesai menangis, Nyangko bertanya pada ibunya, “ kemana ayahku bu” ?, Ayahmu sedang membongkar sarang ikan yang di buatnya dari dahan dan ranting kayu yang di tumpuk pada lubuk-lubuk di sungai, sebentar lagi ayahmu datang, jawab ibunya.
Tak lama kemudian Santak Mantaari datang, sampai di tangga rumahnya, Santak Mantaari heran melihat seorang pemuda yang begitu belia berada di rumahnya. Santak Mantaari bertanya pada pemuda tersebut, “siapa kamu, ngapa di sini” ?
Aku sedang mencari ayah dan ibuku, “jawab Nyangko”
Tiba-tiba ibunya keluar dari dalam, dan berkata pada Nyangko “E e itulah ayahmu nak !
Sabar dulu, ! siapa sebenarnya anak muda ini ?jangan mudah percaya ! kata Santak Mantaari pada istrinya, ia begitu marah sama istrinya karena begitu mudah mempercayai orang asing.
Istrinya berusaha menjelaskan, oh… dia ini anakku yang kutinggalkan dalam kelambu saat kamu membawaku lari beberapa belas tahun yang lalu, aku tidak sempat membawanya, karena kamu merampasku dan membawaku terbang.
Mendengar penjelasan dari istrinya Santak Mantaari seolah-olah ikhlas menerima kehadiran Nyangko dirumahnya.
Baguslah kalau begitu, artinya kita masih mempunyai rejeki untuk bertemu dengan dia kembali, kata Santak Mantaari kepada istrinya. Katanya lagi pada Nyangko, “ sekarang kamu makan ikan ini kalau kau benar anakku, lalu di ambilnya ikan sepat yang paling besar seukuran empat jari, “ini kamu telan bulat-bulat” padahal niat sesungguhnya ingin membunuh Nyangko.

Nyangko mengambil ikan tersebut, tanpa susah payah ikan tersebut di telannya, Santak Mantaari menggelengkan kepala, karena ternyata Nyangko lebih hebat dari dirinya.
“Kalau begitu kamu benar anakku,” Kata Sanatak Mataari. Lalu di suruhnya Nyangko menyiang ikan-ikan yang yang ada, kemudian ibunya memasak, setelah ikan masak mereka bertiga makan bersama. Setelah selesai makan Santak Mantaari berkata pada Nyangko, “besok kita pergi ke hutan mencari kulit kayu”. Iyalah “ jawab Nyangko”.

Keesokan harinya mereka berangkat, Nyangko sengaja di ajak ke hutan yang berpenghuni banyak ular Tedung, Nyangko tidak menyadari akan niat busuk ayahnya untuk mencelakai dirinya, dan ia mau saja di ajak.
Dalam perjalanan ke hutan Ayahnya berjalan lebih dulu karena Ia lebih pahan situasi di hutan tersebut. Nyangko, melihat banyak sekali Ular Tedung lewat melintas di hadapannya dengan ukuran yang cukup besar, dalam hati ayahnya senang dan berpikir bahwa Nyangko akan mati oleh ular-ular Tedung tersebut. Di antara Tedung tersebut ada satu ekor yang paling besar dan berkata pada Nyangko “ kamu di sini jangan takut, kami tidak akan mengapa-ngapakan kamu”. Okelah kata Nyangko. Kemudian oleh raja Tedung, Nyangko di beri bekal sebotol kecil obat penawar bisa.
Sekian lamanya dalam perjalanan, melihat Nyangko baik-baik saja, sebentar-sebentar ayahnya menoleh ke belkang untuk mengetahui keadaan Nyangko, sang ayah kembali salut bercampur gusar menghadapi kehebatan Nyangko, dalam hatinya berkata “ini semakin tidak benar, baiklah besok akanku ajak kesarang Beruang biar dia mampus !

Sesampainya di rumah, Santak Mantaari langsung lapor sama isterinya, bahwa ia akan mengajak Nyangko jalan-jalan kehutan, menurutnya Nyangko sangat sukan di ajak ke hutan.
Kalau memang begitu pergilah, hanya hati-hati, kata isterinya.
Keesokan harinya lagi, Nyangko di ajak ke hutan lagi. “kita mencari sirih di hutan sana, cuman rumpun sirih itu dekat dengan sarang Beruang, apa kamu berani mengambilnya?” tanya ayahnya pada Nyangko. Iyalah, aku berani ! jawab Nyangko.
Sesungguhnya dalam hati Nyangko berpikir keder dan takut, kalau-kalau dirinya habis di cakar Beruang, karena beruang yang terlihat oleh Nyangko begitu besar-besar, banyak dan nampak ganas-ganas.
Dalam benak ayahnya, Nyangko kali ini takkan bisa lagi lolos, kamu pasti mati di cakar oleh beruang-beruang itu, apalagi kamu masuk di sarangnya ibarat ngantar nasib pada maut.

Diluar dugaan Nyangko, kedatangannya seolah-olah di sambut dengan gembira oleh Beruang tersebut, bahkan beruang yang paling besar langsung menghampiri Nyangko dan berkata “kamu jangan takut, kami tidak akan menyakiti kamu apalagi membunuhmu”
Melihat situasi seperti itu, sekali lagi Santak Mantaari ayah Nyangko menggelengkan kepalanya pertanda salut, tempat sirih Nyangko sudah penuh, dan ayahnya di ajak pulang oleh Nyangko.
Setibanya di rumah, ayahnya berkata pada Nyangko,”besok kita pergi lagi ke hutan mencari Gambir”. Mendengar itu ibunya mulai kuatir, karena ia tahu tempat mencari gambir tersebut banyak sarang lebahnya, dan mulai terasa perasaan tidak enak dengan ulah suaminya terhadap anak kandungnya sendiri. Ibunya berpesan Pada Nyangko, “hati-hati ya Nyangko. Setelah mengetahui akal bulus ayahnya, Nyangko pun bingung, namun karena ia pemberani, ia tetap merasa senang di ajak ayahnya, karena memang sifat Nyangko yang ringan tangan. Gambir tersebut tumbuh pada batang kayu Benuang yang cukup tinggi, dan ada sarang lebahnya.

Pagi-pagi sekali Nyangko sudah di bangunkan oleh ayahnya, mereka berdua pergi ke hutan, di mana dalam hutan tersebut memang banyak sarang lebahnya. Ayahnya sengaja membawa Nyangko melihat pohon Benuang yang sangat tinggi, dan gambirnya bagus-bagus. Lalu ayahnya berkata, “Nyangko, ! kamu yang naik, ayah nunggu dibawah. Nyangko nurut saja apa yang di perintahkan oleh ayahnya, Nyangko pun mulai naik diatas pohon Benuang tersebut, setibanya di atas, Raja lebah ngomong dengan Nyangko “jangan takut dengan kami ya Nyangko,” sambil menyerahkan pihamakng (sebentuk barang untuk memperingan badan)
Melihat Nyangko tidak apa-apa untuk kesekian kalinya ayahnya geleng kepala, dan bersungut,dalam hati
“hebat benar anak ini, apa lagi yang harus ku lakukan untuk mencelakainya ?” Setelah penuh tempat gambirnya, Nyangko turun dan mengajak ayahnya pulang.
Setibanya di rumah, ayahnya mengajak Nyangko belajar Mengayau besok kita bermain teka-teki, kata ayahnya pada Nyangko. Nyangko nampak selalu senang dengan kemauan ayahnya.


Sore harinya, Santak Mantaari ayah Nyangko mengajak teman-temannya Mengayau diantaranya bernama Catek Pak Caneng, Bias Pak Rega, Guranikng, dan Pak Lonos, besok kita Mengayau, “kata Santak Mantaari pada Catek Pak Caneng. Catek Pak Caneng merasa gembira di ajak oleh Santak Mantaari Mengayau, dan Catek Pak Caneng mengajak teman-temannya yang lain.
Keesokan harinya, Santak Mantaari dengan Nyangko berkemas-kemas untuk berangkat Ngayau, di pinggangnya diikatkan “Otot” sejenis alat untuk menyimpan kepala Kayau, “Burayakng” sejenis tombak dan “Tangkitn” mandau asli orang Dayak. Sampai di tempat yang mereka tuju, mereka berlima berhenti sejenak, di situlah ayahnya kembali mencobai Nyangko, ayahnya memotong sebatang buluh bala, seukuran betis sekali sentak langsung putus buluh bala tersebut. Nyangko ! kata ayahnya, kamu putuskan bulah bala ini !, Nyangko pun langsung menarik mandau dari sarungnya, dengan sekali sabet buluh bala tersebutpun putus. Lagi-lagi ayahnya geleng kepala. O…. kalau begitu, kita main lompat-lompatan, kita melompati sungai itu kata Santak Mantaari pada Nyangko sambil menunjuk sungai yang cukup besar di hadapannya.. Mereka berlima melompat bersama-sama, mereka berempat tidak mampu melompati sungai besar tersebut, namun sekali melompat Nyangko tiba di seberang sungai.

Kalau begitu, tiga hari tiga malam lagi kita berlima berangkat ngayau, ke “Timpurukng Pasuk, ke Lamak Bagelah, ke Akar ina’ di tatas, ke Rabukng ina’ di Sempo’” (nama tempat dalam bahasa istilah) kata Santak Mantaari kepada teman-temannya termasuk Nyangko.

Mendekati hari yang sudah di tentukan, mereka berlima membuat, pedupu/markas, serta mato’ (ritual adat untuk melemahkan lawan) dengan sebiji telur.
Disiang hari H nya, Santak Matari berkata pada rombongan ngayaunya, “kita berangkat sekarang” mereka berlima pun berangkat, Nyangko mengikuti dari belakang sambil memperhatikan permainan ayahnya. Nyangko benar-benar mau menunjukan kehebatannya pada ayahnya dan teman-temannya. Nyangko bersiasat, telur yng di pegangnya di pecahkan pada pantatnya dan ia bilang ia tidak jadi pergi, karena sakit perut dan berak-berak terus.
Sambil memegang perutnya Nyangko pura-pura kesakitan, ayahnya pun percaya, karena dari pantat Nyangko kelihatan keluar lendir dan darah.
O…. kalau begitu kamu tidak berguna, baiklah…. Kami berempat saja yang berangkat “kata ayahnya”
Mereka berempat langsung berangkat, berjalan beriringan, melihat ayah dan teman-temannya berangkat sudah jauh, Nyangko sekali melompat udah sampai di tempat yang akan di tuju oleh ayahnya. Kayau sudah habis di cincang-cincang oleh Nyangko, kepala yang besar-besar di bawanya, sedangkan kepala yang kecil-kecil di tinggalkannya, setelah selesai Nyangko melompat kembali ke pedupunya, sedangkan ayah dan teman-temannya baru tiba di tempat tujuan yang mau di kayau setelah Nyangko meninggalkan tempat tersebut. Ayah dan kawan-kawannya heran melihat bangkai sudah berseliweran mereka mengemaskan kepala yang di tinggal oleh Nyangko untuk di bawa pulang ke pedupu.
Usai mengemaskan sisa kepala kayau yang Nyangko tinggalkan, ayahnya dan kawan-kawan pulang ke pedupu.
Ini lihat, kepala kayau sampai tak terbawa oleh kami, kamu sendiri tidak berguna karena tidak mau berangkat Ngayau, “kata ayahnya kepada Nyangko.
O… kepala kayau yang besar-besar mana ? kata Nyangko
Entah kemana, hanya ini yang kami dapat, kata Catek Pak Caneng.
Ini punyaku, kepala pangalangoknya (pimpinan perang), lihatlah besar-besar, kalian sudah memungut bekas-bekas yang ku tinggalkan, kata Nyangko kemudian.
Mereka berempat heran dan bertambah bingung, merasa malu di dahului oleh Nyangko.
Sekarang kita pulang ke rumah, aku mau membawa ibuku kembali ke dunia, kalau kalian tidak menyetujuinya saat ini juga kita bekayau, kata Nyangko pada ayahnya. Sepatah katapun ayahnya tidak berbicara, karena ia takut dengan kehebatan Nyangko.
Sesampai di rumah/kampung Nyangko bilang sama ibunya bahwa ia mau mengajak Nya kembali ke Dunia. Ibunya mau saja, pagi hari berikutnya Nyangko dan ibunya turun ke dunia, Nyangko dan ibunya kembali menjadi seperti manusia biasa lagi.
Setelah menjadi manusia biasa, dan tiba didunia ini dari Subayatn Sapangko, Bujakng Nyangko berkunjung ke Kampung Pakana (sekarang wilayah Mempawah Hulu-Landak). Di kampung ini hidup sepasang suami istri, yang tidak mempunyai anak. Suaminya bernama Ne Ragen. Sehari-hari Ne Ragen, keluar masuk hutan untuk berburu. Suatu hari (Sore) Ne’ Ragen menunggu binatang buruannya di bawah sebatang pohon beringin (kayu ara), tiba-tiba ia mendengar suara tangisan bayi di atas pohon tersebut. Suara tangisan itu berasal dari bayi yang mati buyu’ (lahir prematur dan meninggal) . Ne Ragen menjadi iba hatinya ketika mendengar tangisan itu. Lalu ia meletakan peralatan berburunya dan naik di atas pohon kayu ara tersebut dan mengambil anak itu, lalu dibawa pulang dan dipeliharanya hingga menjadi dewasa. Anak itu dinamaninya Doakng.
Setelah cukup umur Doakng disunat ketika selesai disunat Doak berpantang, selama tiga hari tiga malam, ia tidak boleh kemana-mana dan tidak boleh memakanan daging binatang sial seperti pelanduk, kijang, rusa sapi dan kambing, serta beberapa jenis pakis tertentu.
Secara kebetulan pada hari ketiga masa berpantang Doakng, datanglah seorang pemuda Laut Pakana, tetangganya (Melayu, saat ini), bertamu ke rumah Ne Ragen. Doakng kemudian berkata “ pamujakng, kade’ kalaparatn basuman ba ka’ dapur diri dikoa, tapi ame me kita’ nyuman kambing man sapi. Kade’ kita nyuman na’ jukut koa, baik kita suman maan ka’ dapur lain. Kade’ kita na’ ngasiatn kata ku nian awas me kita”(Pemuda, kalau kelaparan masaklah di dapur kita tetapi jangan masak sapi atau kambing. Kalu mau memasak barang (sapi/kambing) itu, sebaiknya di dapur lain, Awas kalian kalau tidak menuruti kataku ini” Setelah berpesan demikian, Doakng tidur dengan tangkitn (senjata khas Dayak Kanayatn) yang teransah tajam terselip dipinggangnya dan disampingnya tergeletak sumpit dengan mata sumpit yang diolesi getah ipuh .
Pemuda Laut tadi ternyata tidak menuruti pesan Doakng, ia memasak daging kambing yang dibawanya dari rumah. Apa yang terjadi kemudian pemuda itu berubah menjadi seekor kambing, dan ketika itupula Doakng terjaga dari tidurnya. Sejenak ia lupa diri lalu menghunus tangkitnnya dan memenggal kepala kambing itu, hingga putus. Ketika sadar Doakng terkejut lalu ia berkata “..koa dah putus unang tage’nyu kambingnya, tapi koa ihan Jubata a, buke’ munuh manusia, aku ga’ munuh laok. Ame ia madi mangka’, babangkawar ka’ aku, jukut ia dah mati dijanjinya, diuntukngnya” ( putuslah kini lehermu hai kambing…tetapi itulah wahai Jubata/Tuhan, aku bukan membunuh manusia tetapi binatang, semoga ia tidak menjadi penyakit, menyentuh dan menurunkan hal yang kotor dalam hidupku, karena ia mati sesuai dengan janji dan takdir hidupnya. Doakng kemudian melaporkan kejadian ini kepada orang tua dan sanak-saudara pemuda tadi. “ mau bagaimana lagi, ia sudah meninggal sesuai dengan takdirnya, kuburlah..” demikian kata keluarga si pemuda malang tersebut.
Beberapa hari kemudian setelah kejadian itu, Doakng minta belajar dan merantau, kepada orang tuanya. Ia kemudian minta dibuatkan kapoa’ bergambar, baju marote (baju tanpa kancing dengan model rompi), otot baukir (tato), jabakng (perisai) dan Tangkitnya. Semula Ne Ragen ayahnya, tidak menyetujui niat anaknya ini, tetapi karena Doakng terus menerus memohon, akhirnya ia diijinkan pergi.
Hari pertama menjelang keberangkatannya merantau Doakng mempersiapkan segala bekal dan perlengkapnnya. Hari kedua ia mato’ (melakukan upacara adat untuk memanggil roh halus/kamang, untuk menyertainya dalam peperangan) minta penyertaan dari Bujang Nyangko, Kamang Lejak dan Kamang Nyado. Rasi (tanda-tanda alam) yang diterimanya setelah mato’ sangat baik, maka ia kemudian berangkat meninggalkan Pakana, subuh, pada hari ketiga. Ia berjalan dan terus berjalan, menuruti langkah kakinya, tanpa tujuan yang pasti. Sesampainya sebuah hutan lebat (udas) ia beristirahat sejenak, lalu membuat jukut diampa’ dan menyampaikan maksud dan tujuannya kepada roh-roh halus penghuni tajur (lereng bukit) gantekng (pertemuan dua dataran tinggi/lembah), bukit yang tinggi, pohon yang besar, seperti ketika ia menyampaikan maksud dan tujuannya pada kamang.
Tidak lama setelah melakukan upacara tadi, disekitarnya terdengar suara krasaak-krusuk yang berasal dari beberapa ekor muis (binatang). Doakng pun bersiul sebanyak tiga kali. Binatang-binatang tersebut kemudian turun ke tanah mencari suara siulan tadi. Doakng kemudian membidikan sumpitnya ke arah seekor muis yang paling dekat dengannya, ia siap menyumpitnya. Tetapi kemudian muis ini tiba-tiba mati. Tidak lama kemudian muncul tiga orang, yang saling berdebat, masing-masing mengakui bahwa dirinyalah yang menyumpit muis tadi. Masing-masing tidak mau kalah “akulah yang menyumpitnya !”. Kata ketiga orang tersebut. Doakng bingung, melihat perdebatan ini. Tetapi akhirnya salah satu dari mereka bertiga, yang ternyata adalah Bujakng Nyangko’ (Kamang yang menjelma menjadi manusia) berkata : “baiklah kita serahkan pada Doakng saja hasil buruan ini, biar dia saja yang memilikinya”.
Setelah mereka bertiga sepakat untuk menyerahkan muis tadi pada Doakng, mereka membuat perjanjian untuk bertemu kembali pada esok paginya di sebuah tempat yang bernama saka tumuk empat (perempatan). “ kade ada nangar tariu tujuh kali, seok tujuh kali dan nguik tujuh kali, ganceh atakng, diri ngayo ka’ Timpurukng Pasuk ka’ Lama Bagenakng, ka’ Jongong, Tanuk Tangoekng, Dapeh Marada’i” ( jika mendengar tariu (teriakan perang) tujuh kali, siluan tujuh kali dan nguik (tiuran suara elang) sebanyak tujuh kali, cepatlah kamu datang kita ngayau di Timpurukng Pasuk, di Lama Bagenakng, di Jongong, Tanuk Tangoekng, Dapeh Marada’i” demikian pesan Bujakng Nyangko pada Doakng.
Keesokan harinya, ketika Doakng mendengar kode yang dijanjikan, ia kemudian bergegas pergi ke tempat pertemuan mereka di Saka Tumuk Ampat. Lalu berempat mereka menuju daerah tempat pengayauan. Tiga hari tiga malam lamanya, akhirnya sampailah mereka di sebuah ladang, musuhnya, secara kebetulan disitu ada banyak orang yang sedang bekerja secara gotong royong (balale’). Diantara orang-orang tersebut satu diantaranya adalah pamaliatn (dukun belian), yang mampu menghidupkan mayat. Kempatnya kemudian berperang melawan orang-orang tersebut dan menang. Diantara seluruh korban, hanya satu yang kepalanya kemudian di bawa yaitu kepala si pamalitan tadi.
Oleh ketiga kamang tadi, Doakng disuruh membawa kepala itu dan berpesan kepadanya, bahwa sebelum sampai di rumah, ia harus tariu, bersiul dan nguik, sebanyak tujuh kali. Jangan masuk ke rumah melalui tangga pintu dapur, jangan menyeruak di bawah jemuran, dan tidak boleh langsung masuk ke ruang tamu. Doakng harus masuk melalui tangga depan, dan berhenti di pante dan menari-nari . Kepala harus diletakan pada pahar tembaga, (tempat khusus yang terbuat dari tembaga untuk meletakkan bahan persembahan), lantai dialas bide (tikar dari anyaman rotan dan kulit kayu), diletakan diatas tempayan jampa berukir (tempayan besar), lalu di pasangi pelita.
Ketika sampai di rumah, Doakng menuruti pesan ini, tetapi lain halnya dengan Nyangko, ia lewat dari tepi Pante, dan menari-nari melewati bawah jemuran, seketika itu juga ia tewas. Jasadnya disemayamkan satu hari satu malam, lalu kemudian di kubur. Pada saat itulah Kamang mengajari Doakng (manusia) berpantak. Pantak ditujukan untuk mengganti orang yang sudah meninggal. Arwah orang yang sudah meninggal itu kelak akan tinggal dalam pantak (patung kayu) yang dibuat.
Kamang Nyado, kemudian mengajari Doakng membuat pantak Kamang Nyangko. Riti tujuh jengkal, kayu besi (belian) diukir dengan riti, didoakan dengan seekor ayam jantan berbulu merah, dibentuk (dipahat) dengan tidak dibolak-balik (posisi tetap), dipahat mulai dari kepala. Syarat (pangkaras) untuk membuat pantak adalah ayam jantan berbulu merah satu ekor, parang, beliung, pahat, besi untuk membuat lobang (bor), paha babi satu ekor (dimbil cuma pahanya, babi jantan yang sudah disepih/bantut), lalu dipersembahkan/disangahatn. Doakng melakukan semua perintah kamang Nyado.
Setelah selesai menguburkan jasad Bujakng Nyangko, Doakng kemudian tariu sebanyak satu kali untuk mencari kayu belian sebagai bahan untuk membuat pantak. Setelah dapat ia membawanya ke rumah dan dipahat di pante selama tiga-tiga malam. Baru boleh dimasukan dalam rumah, menjelang senja. Setelah pantak tersebut dimasukan ke dalam rumah, ia memperlakukannya seperti jasad manusia, dimandikan lalu mengurapinya dengan minyak dan kemudian memberinya makan. Setelah itu ia kemudian membunyikan tetabuhan dari agukng (gong) dan dau (bonang), lalu menari. Pantak tadi tiba-tiba seperti bernyawa, lalu menari-nari bersama Doakng, semalam suntuk.
Setelah semua ini selesai Doakng kemudian, mengajari orang tuanya untuk membuat pantak, dan ketika ayahnya meninggal (Ne Ragen), ia membuat pantak seperti yang dulunya ia buat untuk Kamang Nyangko. Pada saat Doakng menari, dan Pantak itu ikut juga menari, ibunya tidak kuasa menahan sedihnya ketika ditinggalkan suaminya (Ne Ragen), dipeluknya Pantak Ne Ragen yang sedang menari tersebut, lalu diciumnya. Hal itu sesungguhnya tidak boleh dilakukan, tetapi semuanya sudah terlanjur. Pantak yang tadinya bisa menari-nari, kemudian diam dan kembali seperti patung kayu biasa.


Sumber cerita : dawen/pak angkis, kampung Rees kecamatan menjalin.

Senin, 07 November 2011

MENGUPAS IRAMA MUSIK DAYAK KANAYATN DAN MENCERMATI ARTI DIDALAMNYA


Setiap karya seni, apa pun jenisnya mengandung tiga aspek mendasar yakni: (a) Wujud (apperance); (b) bobot (content, substance); dan (c) Penampilan (presentation).
Begitu juga dengan musik Dayak Kanayatn sebagai karya seni juga mengandung aspek wujud berupa perpaduan unsur-unsur seni lainnya secara total. Berdasarkan aspek wujudnya, irama musik Dayak Kanayatn dapat diamati dan segi aspek internal, seperti motivasi, stimulasi, transformasi. Selanjutnya aspek eksternal, seperti laras, instrumentasi, klasifikasi, teknik, dan komposisi.
Komposisi irama musik Dayak Kanayatn menggunakan struktur, seperti ritme, melodi, harmoni dan dinamika. Struktur ini akan membentuk kualitas musik menjadi suatu yang mempunyai nilai estetis dan dapat dinikmati keindahannya. Struktur tersebut tidak terlepas dari latar belakang budaya, sehingga sebuah musik meskipun mengacu pada unsur-unsur musikalitas dan nilai-nilai estetis pada akhirnya akan membentuk sebuah karakter dan ciri khas tersendiri sesuai dengan budaya yang melingkupinya.
Karakteristik irama musik Dayak Kanayatn menjadi sebuah wahana estetis untuk mendukung nilai-nilai budaya yang terdapat dalam irama musik tersebut. Hal ini karena keindahan itu tidak terlepas dari aspek pendukungnya, seperti bobot (isi) mencakup ide (gagasan), simbol, atau pesan yang disajikan, termasuk pula unsur-unsur musikalitasnya. Ide biasanya menjadi tema sentral, sedangkan aspek penampilan adalah keserasian perilaku antara ide dan bentuk yang dikemas dalam suatu penyajian (penampilan) estetis. Keseluruhan faktor dan elemen tersebut merupakan faktor penentu kualitas dari irama musik Dayak Kanayatn, sehingga musik tersebut dapat dinikmati sebagai sebuah produk keindahan sekaligus sebagai ciri khas budaya lokal.
Sebuah karya seni dapat diamati secara intelektual atau bagaimana bahan-bahan itu tersusun, sehingga secara emosional dapat dipahami perasaan yang diekspresikan. Irama musik Dayak Kanayatn memiliki elemen-elemen dasar meliputi ritme, melodi, dinamika, harmoni, tekstur, bentuk, warna, dan gaya. Ritme dalam musik Dayak Kanayatn adalah gerakan kehidupan alam dengan ukuran beat tertentu (meter) dan dengan kecepatan tertentu (speed) pula. Melodi dalam tradisi musik Dayak Kanayatn ibarat alur kehidupan yang dijalani masyarakatnya, sedangkan dinamika ibarat intensitas kehidupan manusia yang berhubungan dengan konsepsi religius dan adat istiadat. Selanjutnya harmoni dalam irama musik Dayak Kanayatn merupakan penggabungan konsep hidup secara horizontal yang mengacu pada keserasian hubungan masyarakat dengan lingkungan, para leluhur, makhluk halus, dan Jubata. Melalui penggabungan elemen-elemen tersebut, irama musik Dayak Kanayatn menjadi sebuah musik yang mempunyai citra keindahan sesuai dengan karakter budayanya.
Penyajian irama musik Dayak Kanayatn mampu memancarkan nilai-nilai estetika yang tidak terlepas dari konsep-konsep musikal dan keindahan. Dalam mengungkapkan nilai-nilai tersebut, baik nilai simbolis maupun estetis perlu diketahui hubungan dan konsep, bunyi musik, dan prilaku masyarakat dari sebuah budaya musik. Keindahan bunyi yang diekspresikan dalam pertunjukan irama musik Dayak Kanayatn tidak terlepas dari konsep religius, yaitu Tuhan, manusia, dan makhluk gaib (makhluk halus dan roh para leluhur) atau tiga dunia, yaitu Dunia Bawah, Dunia Tengah, Dan Dunia Atas yang menjadi inspirasi bagi pembentukan nilai-nilai kehidupan. Dunia Atas dilambangkan dengan Agukng, Dunia Tengah dilambangkan dengan Dau, sedangkan Dunia Bawah dilambangkan dengan Gadobokng. Jalinan ketiga instrumen itu mampu memberikan suatu keindahan dan kesakralan yang dianggap oleh masyarakat sebagai lingkar kehidupan suci dalam dunia ini.
Keterampilan dalam menabuh atau memainkan Dau dan instrumen lain membuat musik yang dihasilkan memiliki keserasian. Musik tersebut menjadi sesuatu yang hidup, indah, dan mempunyai keselarasan. Tiga teknik dalam permainan irama musik Dayak Kanayatn kebanyakan dikuasai oleh para penyanyi, setidaknya ia mengenal dimana dan kapan ketiga teknik itu dimainkan. Pengenalan teknik dan karakter bunyi yang dihasilkan dapat dipadu dengan keahlian vokal, sehingga membuat tampilan musik tersebut sangat menarik ketika dibawakan mengiringi nyanyian seperti dalam kesenian Jonggan.
Kualitas vokal sangat ditentukan dengan keserasian terhadap permainan Dau, oleh karena itu diperlukan pengucapan nada yang tepat untuk menghasilkan suara jernih dan nyaring (tidak sumbang), sehingga enak didengar. Disamping itu diperlukan pula beberapa persyaratan seperti pendengaran yang jeli, pernapasan yang baik, dan rasa pengembangan musikalitas yang mantap untuk mendukung karya yang disajikan menjadi berbobot dan indah.
Pertunjukan upacara Baliatn mempunyai durasi yang panjang, terkadang dimainkan semalam suntuk. Oleh karena itu setiap pemain harus banyak menguasai pola tabuhan. Para pemain musik sedikitnya harus mengerti keseluruhan lagu yang akan dibawakan dalam upacara tesebut, sehingga bila upacara dimulai para pemain hanya menunggu tanda dari panyampakng, selanjutnya mereka memainkan musik dengan sangat akspresif dan bersemangat. Peresapan yang dalam terlihat ketika salah satu musik dimainkan dan tidak jarang para penonton merasa terpesona menyaksikan penampilan tersebut. Dari sini dapat diketehui bahwa musik juga dapat memberikan sebuah kenikmatan meskipun dimainkan dalam konteks upacara. Unsur kekompakan, kebersatuan, penonjolan, harmoni, serta keanekaragaman atau kompleksitasnya dapat tercapai melaui penangkapan dan pengolahan rasa musikal dari masing-masing pemain, ketrampilan dalam permainan, serta penghayatan yang dalam, yang kesemuanya itu dapat memberikan kepuasan tersendiri kepada pelaku dan penikmatnya.
Apabila suatu karya mampu memukau pengamatnya berarti karya itu telah menunjukkan kemantapan kandungan nilai estetis yang menyebabkan orang terpesona. Di dalamnya terdapat unsur-unsur pokok keindahan sebuah objek estetis atau sebuah seni. Objek yang ditinjau hendaknya mempunyai dua syarat, yaitu: (1) Distinctness (kekhususan), yaitu pertimbangan estetis harus dipisahkan dengan jelas dari ha-hal lain yang tidak ikut dinilai. Sebagai contoh menilai keindahan musik Dayak Kanayatn harus dipisahkan dari penilaian pemainnya yang tua, atau penyanyi yang bagus harus dipisahkan dari wajahnya yang cantik; dan (2) Perceptibility (dapat dipersepsi), yaitu objek estetis yang dinilai adalah objek yang dapat dipersepsi, baik itu didengar maupun dilihat oleh pengamat. Sebagai contoh seluruh pesan yang disampaikan melalui musik dan vokal mantra dapat dipersepsi oleh penontonnya, seperti dalam kesenian Jonggan.
Ada tiga unsur yang berhubunga dengan sifat-sifat keindahan suatu karya seni, yaitu: (1) Unity (keutuhan, kebersatuan, kekompakan, tidak ada cacatnya); (2) Complexity (kerumitan, keanekaragaman); dan (3) Intensity (intensitas, kekuatan, keyakinan, kesungguhan). Keutuhan berhubungan dengan kesatuan dan keselarasan jalinan musik yang ditampilkan, termasuk pula keselarasan nilai adat dan budaya yang dikandung musik tersebut. Kerumitan berhubungan bentuk musik atau pola garap yang ditampilkan dalam irama musik Dayak Kanayatn. Kompleksitas ini menambah nilai tersendiri bagi musik tersebut dan bagi orang yang membawakannya. Ia akan diakui menjadi seorang yang mempunyai musikalitas tinggi, seperti para pemain sanggar Amboyo di Desa Aur Sampuk, Kecamatan Sengah Temila, Kabupaten landak, Kalimantan Barat. Intensitas berhubungan dengan kepercayaan atau prinsip hidup yang dituangkan dalam musik tersebut, seperti unsur kepercayaan dan adat istiadat sebagai pengejawantahan kehidupan masyarakat Dayak Kanayatn. Keterikatan dan penuangan ketiga unsur keindahan inilah yang menjadi salah satu penyebab keberadaan irama musik Dayak Kanayatn masih dibutuhkan masyarakat pemiliknya disamping kandungan nilai estetis yang ada di dalamnya.
Jika di hubungkan dengan pernyataan di atas, meskipun ansambel yang digunakan dalam musik Dayak Kanayatn terbilang sederhana, tetapi dapat membuat sajian yang ditampilkan menarik dan enak dinikmati. Disamping itu pelaku kesenian musik Dayak Kanayatn sebagian besar sudah tergolong tua, tetapi ketika mendapat giliran menampilkan kebolehan menyanyi dan menari, mereka tidak mengekspresikan ketuaannya. Mereka seakan-akan merasa masih muda, penuh gairah, bersemangat, tampil menggebu, dan menyala-nyala, apalagi direspon secara atraktif seperti dalam kesenian Jonggan. Hal ini juga menambah suatu nilai lebih yang menandakan bahwa musik tersebut dapat hidup dan diterima disegala lapisan masyarakat dan lapisan umur, sehingga peluang perkembangannya sangat besar.
Keindahan mempunyai tiga syarat, yaitu: (1) Kesempurnaan atau tanpa cela; (2) Proporsi atau harmoni; dan (3) Kecemerlangan atau klaritas. Keindahan lagu irama musik Dayak Kanayatrn juga dapat dirasakan dari dinamika yang diatur sedemikian rupa, seperti kuat lemah, tempo lambat, sedang, dan cepat secara bergantian seakan mengalir tanpa cela. Harmoni antara nada Solekng dan suara Dau, vokal mantra dan jalinan berbagai instrumen yang ditampilkan sesuai proporsinya masing-masing menjadikan sajian musik Dayak Kanayatn memancarkan greget, kualitas garap yang disebut klaritas.
Ungkapan-ungkapan dalam vokal mantra atau vokal yang dibawakan dalam ansambel Jonggan dan upacara ritual Baliatn yang syarat makna ditonjolkan oleh seorang penyanyi dan pamaliatn. Ungkapan yang disampaikan adalah sebuah rekaman historis kehidupan masyarakat dan tentang asal kesenian itu lahir. Irama musik Dayak Kanayatn sebagai seni tradisi adalah adalah rekaman historis yang dapat dijadikan sebuah kerangka nilai estetis untuk dihayati dalam kehidupan masyarakat pendukungnya. Disamping itu kandungan nilai estetis tersebut dapat pula memberi rasa nikmat, indah, tenteram, damai, menyenangkan, sebagaimana keindahan musik ditampilkan sebagai sajian yang menarik, menyentuh, dan menggetarkan jiwa.
Demikian ungkapan musikal sebagai perpaduan nilai estetis dan nilai budaya yang ada dalam irama musik Dayak Kanayatn, telah terbukti dapat memberi kepuasan rasa tersendiri bagi penikmatnya. Suara nyanyian yang mengalun indah direspon oleh bunyi Solekng dan Dau yang mengantarkan jiwa untuk menampilkan nuansa kehidupan damai dan tenteram. Teks-teks lagu dan esensi cerita dimaknai untuk dapat menggugah kesadaran secara mendalam tentang makna dan tujuan kehidupan religius. Inilah yang dimaksud dengan unity yang memancarkan citra keindahan dengan kekhasan tersendiri sebagai ciri khas budaya masyarakat Dayak Kanayatn, sehingga keindahan yang dikandungnya menjadi keindahan yang membumi bagi setiap orang, terutama urakng Dayak Kanayatn.

MENGULAS TRADISI LISAN DAN BUDAYA DAYAK KANAYATN

Untuk mengungkapkan apa yang disebut “JUBATA” oleh Masyarakat adat Dayak Kanayatn, agar dapat dimengerti dan dipahami secara jelas bukanlah merpakan yang sederhana dan perlu waktu yang cukup banyak, karena tidak dapat dipisahkan dan sangat erat sekali kaitannya dengan adat, mithe-mithe tentang kejadian alam semesta dan manusia dan mithe-mithe lainya yang memperlihatkan keterkaitan-keterkaitan antara manusia dengan makhluk-makhluk lain serta alam lingkungan sekitarnya. Masyarakat adat Dayak Kanayat yakin bahwa ada dua ruang lingkup alam kehidupan, yaitu kehidupan alam nyata dan kehidupan alam maya. Yang berada di alam kehidupan nyata ialah makhluk tak hidup, tumbuh-tumbuhan, hewan dan manusia. Sedangkan yang berada di alam kehidupan maya antara lain: Ibalis, bunyi’an, antu, sumangat urakng mati,
dan JUBATA. Kedua alam khidupan ini dpat saling pengaruh-mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Kekuatan supranatural yang dimiliki oleh seseorang adalah salah satu contoh dari akibat tersebut di atas. Untuk menjaga keseimbangan antara kehidupan alam nyatan dan kehidupan alam maya, serta untuk menata seluruh aspek kehidupan warganya, hubungan timbal-balik sesama warganya, hubungan warganya dengan alam lingkungannya, serta penciptanya/Jubata agar tetap serasi dan harmonis, nenek moyang para leluhur mereka (Dayak Kanayatn) telah menyusun secara arif dan bijaksana ketentuan-ketentuan, aturan-aturan yang harus ditaati dan dijadikan pengangan hidup bagi seluruh warganya dan warga keturunannya dari generasi ke generasi sampai kini, yang terangkum dalam apa yang disebut ADAT.

Sekedar untuk diketahui seperlunya bahwa yang tergolong ADAT di kalangan Masyarakat Adat Dayak Kanayatn antara lain:
- Peraga-peraga adat, lambang, dan simbol-simbol
- Bahasa, seni, dan budaya adat
- Hak-hak kepemilikan adat
- Kearifan-kearifan dan keyakinan adat
- Adat-istiadat dan hukum adat
- Upacara-upacara adat.: Upacara-upacara adat adalah kegiatan ritual bagi masyarakat adat dayak Kanayatn untuk berhubungan dengan Jubata.

Masyarakat Adat Dayak Kanayatn sangat yakin bahwa segala sesuatu yang ada di alam ini berasal dari Jubata. Jubata sebagai Pencipta, dan Pemelihara segala sesuatu yang ada di alam nyata maupun di alam maya dan karena itu dikalangan masyarakat adat Dayak Kanayatn Jubata sangat dihormatai, dimuliakan dan diagungkan. Jubata diyakini pulas sebgai yang sangat baik, sangat murah hati, sangat adil, tetapi tidak segan untuk menghukum perbuatan-perbuatan yyang jahat. Mari kita simak beberapa kalimat dan penggalan kalimat yang mengungkapkan hal-hal di atas:
- Jubata nang baramu’ ai’ tanah, Adil ka Talino, Bacaramin ka Saruga, Basengat ka Jubata, Samuanya baranse’ ka Jubata.
- Jubata ina’ munuh, Jubata ina tidur, Jubata ina Bengkok.
- Labih adat Jubata bera, kurang adat antu nuntut. Adat manusia sakanyang parut, adat Jubata sapatok insaut, dan masih banyak lagi ungkapan-ungkapan yang menyatakan hal tersebut. Jubata sebagai pencipta dan pemelihara segala sesuatu itu oleh Masyarakat Adat Dayak Kanayatn disebut pula Jubata Tuha, yang dijabarkan dengan bahasa sederhana sebagai berikut: Ne’ Panitah, Ne’ Pangira, Ne’ Patampa, Ne’ Pangadu’, Ne’ Pangedokng, Ne’ Pajaji, Ne’ Pangingu. Hitungannya ada 7 (Tujuh), dan senantiasa diperingati pada setiap upacara ritual adat oleh Panyangahatn (Imam Adat) dalam Bamangnya sebagai berikut: Asa...dua...talu...ampat...lima...anam...tujuh, agi’nya koa....dst. Untuk menghadirkan atau (lebih tepat mengundang) Jubata untuk hadir pada setiap upacara ritual adat yang dilaksanakan, panyangahatn melakukan beberapa hal misalnya:
- MemanggilNya dengan suara jelas dan lantang Ooooooooooo Kita’ JUBATA.....dst..dst.
- MemanggilNya dengan perantaraan Bujakng Pabaras, yang dilambangkan dengan menghamburkan biji beras yang utuh sebanyak tujuh biji dengan bamang sbb: Aaaa....ian Kita’ Bujakng Pabaras, Kita’ nang ba tongkakng lanso, nang ba seap libar, ampa jolo basamptn, linsode batinyo saluakng jannyikng......dst.
- MemanggilNya dengan bunyian Potekng Baliukng sebanyak 7 kali

Minggu, 06 November 2011

ADAT KEMATIAN

adat ka’ kamatiatn yang dimaksud disini ialah semua bentuk Adat yang berkaitan dengan hal-hal kematian seseorang dari sejak dia meninggal dunia hingga tiga tahun atau seribu ( 1000 ) hari ngalapasatn tahutn. Adt kakamatiatn itu meliputi antara lain yaitu :
1. Penguburan. Apabila seseorng meninggal duni pertama sekali jenasah harus dimandikan, diberi pakayan biasanya serba putih dan unyuri’ ( dibaringkan ) diruang depan ( sami’ ). Inilah yang dinamakan mangkorah. Sementara itu, beberapa orang diminta untuk memberitaukan kematian itu kepada ahli waris yang agak jauh tempatnya sambil ngango’nya. Pangago’ harus membawa paku pangkars dan setiap orang yang digago’ harus mengigit paku sebagai pangkaras, dan mereka mengucapkan kata-kata : “ Loe basi karas sumangat ” artinya sumangat mereka lebih keras dari pada besi, tidak bisa dibujuk atau dirayu ( tarere’ ) oleh roh orang yang telah mati. sebagian lagi dari orang-orang ditempat duka ada yang mengerjakan peti jenasah. Kalau tidak ada persediaan papan, merka menebang kayu dihutan untuk dijadikan papan. Demikian pula semua perkakas yang dipinjam bahkan apa saja yang dipinjam dengan tetangga harus disertai dengan paku pengkaras dan orang yang meminjamkan harus menggigit paku sambil mengatakan “ loe basi karas sumangat jenasah tidak boleh dikuburkan sebelum ahli waris yang di gago’ datang, kecuali jika pangago’nya telah dititipi pesan bahwa jenasah aan dikuburkan pada hari dan jam yang telah ditentukan tidak terikat apakah yang digago’ sudah datang atau belum. Setelah peti jenasah diusung keluar maka pihak keluarga biasanya mencuci muka ( basimuha ) dengan air dari solekng ( tabung bambu ) dan solekng diempaskan hingga pecah sambil mereka mengatakan kata-kata yang artinya bahwa mimpi buruk mereka sudah lepas sudah berlalu, ame babadi agi’, badan sudah dibersihkan ( dengan basimuha ) segala mimpi buruk seperti gigi tanggal, mimpi melihat matahari, mimpi kehujanan dan sebagainya, semuanya sudah hanyut bersama air dan sudah hancur lebur seperti solekng ( tabung bambu ) yang dihempaskan, dan merekapun menghamburkan abu dan arang yang memang sudah disediakan disitu,seraya mereka mengatakan : segala mimpi buruk sudah terbang jadi abu, dan hangus jadi arang. Prilaku ini mereka lakukan terlebih jikalau merekamemeng ada mimpi yang buruk itu. Setelah peti jenasah tiba ditempat pekuburan, masing-masing sibuk dengan pekerjaanya dan setelah selesai penimbusan liang lahat, diadakan upacara pangurukang sumangat, dengan melipat daun kemudian dibagikan kepada semua yang hadir dan dijepitkan di telinga, maksudnya agar sumangat tetap terkurung didalam badantidak lere’ ( tergoda ) dengan roh orang mati. Salah seorang menigap ( menepuk ) tnah pada bagian kepala sambil mengatakan pesan, Asa’ … dua … talu … ampat … lima … anam … tuju, Ian aku nigapm kau sianu’a, aku masatna’ kao … dst ( lihat pesan orang mati pad halaman 5 ). Setelah pulang dari penguburan, disebelah tangga naik dipasang pula tangga hantu yang posisinya terbalik. Setelah orang-orang yang tadinya ikut menguburkan selesai mandi. Sumangat dipanggil dengan membunyikan ( nentekng ) beliung. Dan setelah selesai makan diadakan pula Adat bacece’ mati dengan mengeluarkan Adat sepuluh amas.
2. Bacece’ Mati. Adat bacece’ mati ialah Adat yang harus dikeluarkan sebelum dimulainya pertanyaan mengenai hal ikwal kematian almarhum yang baru selesai dikuburkan. Bacece’ artinya barenceh yaitu membicarakan yang berkaitan dengan sesuatu dan dalam hal ini tentang kematian. Adat yang harus dikeluarkan adalah Adat sapuluh amas dan dua buah mangkok masing-masing disertai paku pangkaras. Adat bacece’ mati dilaksanakan setelah selesai makan. Pengurus Adat mulai opembicaraan dengan mengatur penyerahan Adat sapuluh amas yaitu :
1. Dua ( 2 ) mangkok diserahkan kepada sapat dinikng ( tetangga kiri dan kanan).
2. Satu buah piring diserahkan kepada yang mangkorah ( memikul peti ).
3. Satu buah piring diserahkan kepada yang bagago’atn.
4. Satu buah piring diserahkan kepada yang bapapatn, yang membuat peti jenasah.
5. Satu buah piring diserahkan kepada yang batandu ( memikul peti ).
6. Satu buah piring diserahkan kepada yang batamukng dan badango.
7. Satu buah piring diserahkan pepada yang natak bantal kaintonotn.

Semuanya disertai dengan satu buah paku pangkaras dan masing-masing mereka mengigit pangkaras paku dan walaupun piring tidak diambil, tetapi dianggap sudah diterima. Selesai penyerahan Adat sapuluh amas barulah diadakan pertanyaan oleh pengurus Adat : Pertanyaan tentang kematian, apakah mati karena jodohnya atau ada hal-hal yang patut dicurigakan asal jangan sambarang gule’ gilabut.
1. Soal utang piutang almarhum.
2. Jika suaminya yang meninggal patut ditanyakan keadaan badan si-istri, apakah dalam keadaan haid atau belum.
3. Suami atau istri dri almarhum harus mengeluarkan Adat kalangkah tikar yaitu mata uang ketip ditaruh diatas piring kecil sebagai suatu syarat atau pengakuan bahwa manakala pada suatu ketika ia akan kawin lagi, maka ia harus bermusawarah dengan pihak ahli waris almarhum.
4. Adat sapuluh amas diterima oleh waris dua madi’ ene’ almarhum.

Kemudian ditanyakan apakah ngalapasatn tahutnnya akan ditentukan atau dilaksanakan, kalau tidak supaya diadakan Adat barapus agar rohnya tidak mengganggu pertahunan.
3. Muang Ai’ balik. Ai’ balik terdiri dari pinggan putih berisi air, ditutup dengn sebuah pengayak beras, dan sebuah sobokng, ( kulut pelepeah pinang ) berisi abu dapur, ditaruh kepelataratn atau pante masuk rumah. Jadi posisinya demikian : daritanah naik kerumah, ada pasang tanga’ antu, kemudian diatas pante diletakan sobokng abu, dankemudian barulah piring ang berisi air ditutup pengayak. Apabila pidaranya ( rohnya ) mau naik kerumah melalui tanga’ hantu dia akan menginjak abu sehingga bekasnya keesokan harinya dapat dilihat, dan kemudian iapun bercermin kedalam air yang ditutup pengayak, sehingga sadarlah ia bahwa wajahnya sudah berubah karena nampak wajahnya tidak mulus lagi dipengaruhi oleh pengayak, baru ia sadar bahwa ia telahmeninggal bahwa ia telah berada di alam lain.
4. Malahi’. Apabila almarhum meninggal pada tahutn kadapatatn atau ningalatatn tahutn artinya dia meninggal : sebelum panen padi, maka ia diberi bagian khusus supaya ia tidak menggangu sawah atau ladang milik keluarganya oleh karena ia tidak diberi bagian. Bagian atau balahatn diberikan disebelah pinggir sawah atau ladang dekat jalan keluar atau masuk sawah atau ladang. tempat belahan dipagar dengan belahan bambu. diatasnya digantungkan tudung terinak, topokng pamanih dan sebagainya.
5. Muang Tikar Kubu’ . Upacara Adat ini dilaksanakan setelah tiga hari lamanya ia dikuburkan. Beberapa bekas pakayan, tikar dan perca lainya secara simbolis dapat dianggap sebagai tikar dan Kubu’ ( selimut ) dibuang disaka ( persimpangan ) kuburan sehinga hal ini disebut “ muangi’ tikar kubu’ ” Maksud supaya pidara ( roh ) almarhum tidak mencari-cari pakayannya lagi karena sudah diserahkan.
6. Basuayak. Basuayak artinya berpisah bertolak belakang. Adat basuayak ialah Adat yang dilaksanakan setelah tujuh hari almaruhum dikuburkan. Menurut kepercayaan selama tujuh hari itu roh almarhum masih keluar masuk di rumah keluarganya. Agar supaya angota keluarga tidak terrayu ( rohnya tidak ngalimatn,ngarere’ ) maka diadakan Adat basuayak untuk memisahkanya, dari kehidupan lingkungan keluarga.
7. Ngalapasatn Tahutn. Ngalapastn tahutn adalah suatu uapacara Adat yang diadakan setelah tiga tahun almarhum meninggal dunia. Waktu tiga tahun ini biasanya dihitung tahun padi. Upacara Adat ini dimaksudkan untuk nipara atau mare’ ( memberi ) makan almarhum yang terakhir. kalau upacara Adat ini tidak dilaksanakan maka dikwatirkan rohnya akan gentayangngan mencari makan kesana kemari sehingga merusak panen sawah atau ladang, dan yang menjadi sasaran utama adalah pihak keluarganya (Berpaling kekeluarga ). Dengan demikian makna ngalapasatn tahutn itu dapat diartikan :
1. Untuk paniparatn ( memberi makan ) terakhir, memberi ongko’ bagiatn kepadanya agar ia tidak menggangu atau merusak sawah - ladang.
2. Batas bela sungkawa dan hubungan batin dengan rohnya sudah dianggap selesai ( hubungan keterikatan ) sebab sebelum masa tiga tahun suami atau istri almarhum yang masih hidup dapat dikenakan sangsi Adat parangkat hantu atau pampalit ai’ mata ( Kaing lap air mata ) jika ia kawin lagi.

Namun demikina bukan berarti hubungan batin itu akan terputus habis sama sekali, adakalnya roh seseorang itu akan tetap dihormati terutama kuburan orang tua yang dan dianggap sebagai biat atau pama sehinga kuburannya ditabo’ dan diremah setiap tahun seperti layaknya orang nabo’ panyugu.
8. Sanukng. Jika seseorng kebetulan meninggal dan dikuburkan ditempat lain karena merantau dan sebagainya sehinga jenasahnya tidak dapat dikuburkan dikampungnya, maka dibuatlah sanukng ditempat atau kampung pakayan. Sanukng adalah merupakan duplikat kuburanya yang asli. pakayan bekas, dan tnah pekuburannya dibawa pulang untuk ditempatkan pada sanukng itu. Sanukng itu dibuat menyerupai kuburan diberi dango dan diberi tambak atau jongko :
1. Jika ia seorang dukun dibuatkan bale gamakng yaitu dari papan dibuat persegi empat dan diukir serta dicat dengan ukiran khusus, yang merupakan tanda bahwa ia seorang dukun.
2. Jika ia seorang pangalangok jongko’nya dilukis seperti kepala alo.
3. Jika ia seorang pagalar ( Timanggong atau pengurus Adat ) maka ia dibuatkan bale’ gamakng.
4. Jika ia seorang yang kaya, papadiatn maka jongko’nya dibuat diukir seperti papat dango padi.

Sanukng juga dapat diberlakukan seperti kuburan, dapat ditabo’ dan diremah tergantung pada pihak keluarganya.

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Facebook Themes